Muslim Indonesia sangat gemar merayakan
sesuatu yang tidak ada tuntunan syari’ah Islam-nya. Contohnya seperti
Maulid Nabi, yakni merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad. Rasulullah
saja tidak pernah merayakan hari lahirnya sendiri. Tetapi di Indonesia
ada banyak ormas Islam yang seringkali mengatakan kepada publik bahwa
perayaan hari ulang tahun adalah haram, namun ternyata mereka merayakan
apa yang disebut hari milad atau hari lahir daripada individu atau
komunitas mereka sendiri. Padahal jelas bagi umat Islam dikatakan dalam
hadis dari Anas Radliallahu ‘anhu ia berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam datang ke Madinah sedang penduduknya memiliki dua hari raya
dimana mereka bersenang-senang di dalamnya di masa jahiliyah. Maka
beliau bersabda: “Aku datang pada kalian sedang kalian memiliki dua hari
yang kalian besenang-senang di dalamnya pada masa jahiliyah. Sungguh
Allah telah menggantikan untuk kalian yang lebih baik dari dua hari itu
yaitu : hari Raya Kurban dan hari Idul Fithri.” Hadis Shahih,
dikeluarkan oleh Ahmad (3/103,178,235), Abu Daud (1134), An-Nasa’i
(3/179) dan Al-Baghawi (1098).
Di samping Idul Fithri dan Idul Adha, ada
hari-hari di mana dalam beberapa hadis dikatakan memiliki
keutamaan-keutamaan dari hari lainnya seperti misalnya hari Jum’at. Dari
Abu hirairah r.a. dia berkata: rasulullah SAW bersabda: ”barang siapa
mandi kemudian mendatangi shalat Jum’at, kemudian melakukan shalat
semampunya, kemudian diam mendengarkan khotbah sampai imam
menyelesaikan khotbahnya, kemudian melakukan shalat bersama imam, maka
diampuni dosa-dosanya yang terjadi antara dia dengan Jum’at yang lain
beserta tiga hari berikutnya.” (HR Muslim)
Namun umat Islam di Indonesia terjebak
pada perayaan dan pengistimewaan hari-hari tertentu yang bukan datang
dari Islam dan tidak pernah dipraktikkan oleh Rasulullah serta generasi
salaf. Contohnya adalah hari ibu dan juga hari raya umat agama lain.
Islam melarang umatnya menyerupai dan meniru-niru penganut agama lain
dan berbangga karenanya. Barang siapa melakukan hal itu, maka dia bisa
dikatakan telah termasuk dalam kaum yang diserupainya. Nabi bersabda:
“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk kaum
tersebut”. [HR. Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya]
Hukum Merayakan Natal dan Hari Ibu, atau Hari Lainnya yang Tidak Berdasarkan Syari’ah
Jelas bahwa menghadiri Natal dan ikut
merayakannya adalah sesuatu yang diharamkan bagi umat Islam. Sebagaimana
hari Valentine dan semacamnya. Ketentuan tersebut didasarkan pada
firman Allah Q. S. al-Furqan [25]: 72. Ayat ini menjelaskan tentang
salah satu dari sifat ‘ibâd al-Rahmân ialah al-ladzîna lâ yasyhadûna al-zûr, atau secara harfiah adalah orang-orang yang tidak bersaksi palsu. Menurut sebagian besar mufassir, makna kata al-zûr (kepalsuan) pada ayat tersebut adalah syirik. Demikian papar al-Syaukani dalam kitab tafsirnya, Fath al-Qadîr.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya Tafsîr al-Qur’an al-‘Azhîm menyitir
pendapat beberapa mufassir seperti Abu ‘Aliyah, Thawus, Muhammad Ibn
Sirrin, al-Dhahhak, al-Rabi’ Ibn Anas, dan lainnya, memaknai al-zûr di sini adalah hari raya kaum Musyrik. Lebih luas, Amru Ibn Qays menafsirkannya sebagai majelis-majelis yang buruk dan kotor.
Sedangkan kata lâ yasyhadûna, menurut jumhur ulama’ bermakna lâ yahdhurûna al-zûr,
alias tidak menghadiri majelis-majelis yang buruk atau
perayaan-perayaan kaum non-muslim. Demikian penjelasan al-Syaukani dalam
Fath al-Qadîr. Memang ada yang memahami ayat ini berkenaan
dengan pemberian kesaksian palsu yang di dalam Hadis Shahih
dikategorikan sebagai dosa besar. Akan tetapi, dari konteks kalimatnya,
lebih tepat jika dimaknai lâ yahdhurûnahu, tidak menghadirinya.
Sebab, dalam lanjutan frasa ayat tersebut disebutkan: “Dan apabila
mereka melewati (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang
tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya”
(Q. S. al-Furqan [25]: 72).
Dengan demikian, keseluruhan ayat ini memberikan pengertian bahwa mereka tidak menghadiri al-zûr.
Dan jika mereka melewatinya, maka mereka segera melaluinya, dan tidak
mau terkotori sedikit pun olehnya (lihat Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu
Katsir, juz 3).
Berdasarkan ayat ini pula, banyak fuqaha’
yang menyatakan haramnya menghadiri menghadiri perayaan hari raya
penganut agama lain. Ibnu Taimiyyah menyitir penjelasan beberapa ulama
terkemuka mengenai persoalan ini. Ahmad Ibn Hanbal berkata: “Kaum Muslim
telah diharamkan untuk merayakan hari raya orang-orang Yahudi dan
Nasrani.“ (lihat Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm). Imam Baihaqi menyatakan, “Jika kaum Muslim diharamkan memasuki gereja, apalagi merayakan hari raya mereka.”
Sedangkan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam Ahkâm Ahl al-Dzimmah
menyitir penjelasan yang dikemukakan Abu al-Qasim al-Thabari. Beliau
berkata, “Tidak diperbolehkan bagi kaum Muslim menghadiri hari raya
mereka karena mereka berada dalam kemunkaran dan kedustaan (zawr).
Apabila ahli ma’ruf bercampur dengan ahli munkar, tanpa mengingkari
mereka, maka ahli ma’ruf itu sebagaimana halnya orang yang meridlai dan
terpengaruh dengan kemunkaran itu. Maka kita takut akan turunnya murka
Allah atas jama’ah mereka, yang meliputi secara umum. Kita berlindung
kepada Allah dari murka-Nya.
Pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar Ibn
al-Khaththab, beliau juga telah melarang kaum Muslim merayakan hari
raya orang-orang non-muslim. Imam Baihaqiy telah menuturkan sebuah
riwayat dengan sanad shahih dari ‘Atha’ Ibn Dinar, bahwa Umar ra pernah
berkata, “Janganlah kalian menmempelajari bahasa-bahasa orang-orang
Ajam. Janganlah kalian memasuki kaum Musyrik di gereja-gereja pada hari
raya mereka. Sesungguhnya murka Allah SWT akan turun kepada mereka pada
hari itu.” (HR. Baihaqi). Beliau juga mengatakan: “Jauhilah musuh-musuh
Allah pada di hari raya mereka.”Jelaslah, Islam telah melarang umatnya
melibatkan diri di dalam perayaan hari raya orang-orang non-muslim
apapun bentuknya. Melibatkan diri di sini mencakup perbuatan;
mengucapkan selamat, hadir di jalan-jalan untuk menyaksikan atau melihat
perayaan orang non-muslim, mengirim kartu selamat, dan lain sebagainya.
Adapun perayaan hari raya orang non-muslim di sini mencakup seluruh
perayaan hari raya, perayaan orang suci mereka, dan semua hal yang
berkaitan dengan hari perayaan orang-orang non-muslim.
Di antara ayat sering digunakan untuk
melegitimasi bolehnya mengucapkan selamat natal adalah firman Allah Swt:
“Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku
dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup
kembali” (Q. S. Maryam [19]: 33).
Ayat ini sama sekali tidak menunjukkan
kebolehan mengucapkan selamat natal kepada kaum Nasrani. Di dalam ayat
ini memang disebutkan tentang keselamatan pada hari kelahiran Isa. Akan
tetapi, itu memberitakan keselamatan Nabi Isa ketika beliau dilahirkan,
diwafatkan dan dibangkitkan. Tidak ada kaitannya dengan ucapan selamat
Natal. Sebab, Natal adalah perayaan dalam rangka memperingati kelahiran
Yesus di Bethlehem. Telah maklum, bahwa keyakinan Nasrani terhadap Nabi
Isa adalah sebagai Tuhan. Dan keyakinan ini ditolak oleh ajaran Islam,
seperti firman QS al-Maidah [5]: 72, QS al-Maidah [5]: 73-74).
Berangkat dari fakta tersebut, perayaan
Natal yang merayakan ‘kelahiran Tuhan’ merupakan sebuah kemungkaran
besar bagi umat Islam. Allah Swt berfirman: “Dan janganlah kamu
cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh
api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun
selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (Q.
S. Hud [11]: 113).
Lakum diinukum wa liya al-diin, Bagimu agamamu, bagiku agamaku. (Surat Al Kafirun, ayat ke-6)
Lalu bagaimana dengan perayaan hari Ibu, atau mengutamakan hari khusus yang didedikasikan kepada para ibu?
Jelas sekali jika kita berpatokan pada
dalil al-Qur’an dan Sunnah, bahwa selain hari-hari yang memang
disunnahkan untuk dirayakan, maka hukumnya adalah haram. Barang siapa
yang melakukannya berarti telah terjerumus dalam bid’ah. Sedangkan Islam
sangat menghargai sosok Ibu. Ada sejumlah hadis yang berisi tentang
keutamaan seorang Ibu. Namun Keutamaan para ibu ini bukan berarti
legalitas untuk membikin ajaran-ajaran baru yang datangnya bukan dari
Islam.
Bagi yang merasa ada manfaat penting
diselenggarakannya hari ibu, barangkali mempunyai argumen: mungkin Nabi
lupa akan pentingnya hari ibu ini, sehingga luput dari ajaran beliau
untuk menjadikan satu hari yang didedikasikan sebagai hari ibu. Tetapi
tentunya mana mungkin Rasul utusan Allah terlupa untuk mengajarkan
sesuatu yang penting, apalagi beliau sering kali mengeluarkan hadis
tentang kemuliaan seorang ibu.
Atau jikalau bukan lupa, barangkali
karena kemungkinan Nabi tidak mengetahui adanya kebaikan atau manfaat
diselenggarakannya hari ibu bagi umat Islam?Ini pun, jelas tidak mungkin
juga. Bagaimana Nabi yang membawa risalah kenabian tidak mengetahui
pada kebaikan yang besar ini? Padahal beliau sangat mementingkan yang
namanya berbakti kepada orang tua, terutama kepada ibu. Jika untuk
masalah yang kecil seperti tata cara bersuci dari najis saja diajarkan
oleh beliau, bagaimana mungkin Nabi tidak mengetahui kebaikan yang besar
dengan mengkhususkan satu hari untuk diperingati sebagai hari ibu?
Jadi, kalau bukan karena Nabi lupa akan
pentingnya diselenggarakan hari ibu, atau beliau juga bukan karena
ketidaktahuannya bahwa betapa bermanfaatnya hari ibu bagi umatnya.
Lantas mengapa beliau tak ajarkan kepada umatnya untuk memperingati hari
ibu?
Jawabannya adalah karena memang Allah dan
Rasul-Nya tidak mensyariatkan akan hari ibu. Jikalau ada kebaikan dan
kemanfaatan yang dikandung oleh satu perayaan atau pengkhususan yang
dinamakan dengan hari ibu, tentu ini akan diajarkan oleh Islam. Seperti
yang kita yakini, bahwa Islam telah sempurna. Ke-syumuliah-an
Islam tak membutuhkan lagi penambahan atau pengurangan ajaran
(syari’ah). Postingan ini sekedar mengajak kita untuk berpikir kritis
akan apa yang selama ini barangkali masih kita lakukan. Ukuran kebaikan
bukanlah prasangka menurut kita bahwa sesuatu hal yang kita katakan baik
adalah baik dan bermanfaat. Akan tetapi ukuran sebuah perbuatan
mempunyai nilai kebaikan dan manfaat adalah jika perbuatan itu telah
dilakukan oleh Rasul dan para sahabat serta generasi salaf yang
mengikutinya. Jika sesuatu hal baik dan bermanfaat maka Rasulullah dan
para Sahabatnya yang mendahului kita dalam melakukannya. Betapa pun
mulianya kedudukan seorang ibu, namun tak pernah kita dengar Nabi kita
dan para Sahabatnya, atau generasi salaf mengkhususkan hari tertentu
untuk didedikasikan kepada para ibu. Sama sekali tidak ada catatan hadis
dan sejarah yang menukilnya. Ataukah kita merasa lebih baik dari mereka
sehingga kita yakin akan adanya kebaikan dalam mengkhususkan hari untuk
berbakti kepada ibu dengan menamakannya sebagai hari ibu?
Allahu ‘Alam
Harrah's Philadelphia Casino & Racetrack - Mapyro
BalasHapusHarrah's Philadelphia Casino & 세종특별자치 출장샵 Racetrack is an MGM property located in Philadelphia, PA and is open daily 24 hours. The casino's 30000 square 의정부 출장샵 foot gaming space Address: 777 정읍 출장안마 Harrah's Blvd, 충주 출장안마 Chester, PA 19013Phone: 경산 출장마사지 (484) 496-4597